Tuesday, July 27, 2021

Turut Tergugat dalam Pusaran Sengketa Perdata Agama

A. Pengertian Turut Tergugat

Istilah Turut Tergugat tidak kita jumpai dalam peraturan perundang-undangan, namun muncul dalam praktek pengadilan. Kebutuhan hukum meniscayakan subyek hukum Turut Tergugat, dia tidak memenuhi kriteria legal standing sebagai Penggugat maupun Tergugat dalam suatu perkara perdata, namun kehadirannya dibutuhkan, bahkan tanpa dia terkadang perkara dinyatakan kurang pihak dan berakhir NO (niet ontvenkelijke verklaard).

Meskipun eksistensi Turut Tergugat dalam peraturan perundang-undangan belum diatur, namun telah banyak pakar/ahli hukum yang membahasnya dan banyak pula yurisprudensi Mahkamah Agung yang bisa kita jadikan pijakan, antara lain pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1642 K/Pdt/2005 yang menggariskan kaidah hukum, “Dimasukkan seseorang sebagai pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut Tergugat dikarenakan adanya keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek gugatan menjadi tidak lengkap.”

Pakar hukum yang mengupas perihal Turut Tergugat diantaranya adalah Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek” (hlm. 2). Keduanya menggariskan, “Dalam praktek perkataan Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim”.

Dari rumusan tersebut di atas diperoleh tiga kriteria bahwa Turut Tergugat adalah orang/pihak yang:
  1. Tidak menguasai objek sengketa;
  2. Tidak berkewajiban melakukan sesuatu;
  3. Diikutsertakan untuk melengkapi gugatan;
Kendatipun demikian, dalam praktek pengadilan perdata modern yang kasusnya semakin kompleks memungkinkan munculnya Turut Tergugat di luar tiga kriteria tersebut. Hal-hal yang belum diatur dalam aturan formal bahkan belum terpikirkan saat ini tidak mustahil akan muncul di kemudian hari, olehnya menjadi keharusan bagi kita untuk senantiasa mengikuti dengan seksama perkembangan hukum.

B. Kedudukan Turut Tergugat

Berangkat dari kriteria Turut Tergugat di atas ternyata melahirkan kedudukan Turut Tergugat yang tidak tunggal. Ada Turut Tergugat yang benar-benar pasif, baik dalam proses persidangan maupun setelah putusan dijatuhkan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam proses persidangan meskipun mereka tidak datang menghadap tidak mempengaruhi jalannya persidangan dan setelah putusan dijatuhkan juga tidak terkait langsung dalam proses pelaksanaanya. Akan tetapi ada Turut Tergugat yang harus mengambil peran dalam persidangan dan terlibat dalam proses selanjutnya sampai eksekusi.

Dalam perkara kewarisan misalnya, kedua kemungkinan itu bisa terjadi, yakni ada Turut Tergugat pasif dan Turut Tergugat aktif, baik berdiri sendiri atau bersama-sama dalam suatu perkara. Seorang Notaris/PPAT dapat didudukkan sebagai Turut Tergugat dalam suatu gugatan waris terhadap objek sengketa yang telah ia buat akta peralihan haknya. Ia tidak punya kepentingan hukum langsung terhadap perkara yang diajukan, hanya berkedudukan sebagai pelengkap saja. Notaris/PPAT tersebut dijadikan Turut Tergugat agar gugatan menjadi lengkap, sehingga ia dapat dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan. Maksimal pengadilan menyatakan bahwa akta yang ia buat tidak mempunyai kekuata hukum mengikat, ya semacam pemberitahuan saja karena pada hakikatnya yang berkepentingan secara langsung adalah Penggugat dan Tergugat. Inilah gambaran Turut Tergugat pasif.

Hal berbeda terjadi pada Turut Tergugat yang berasal dari ahli waris dalam perkara yang diajukan. Dia ahli waris yang tidak ikut menggugat dan tidak menguasai objek sengketa, tapi dia berkepentingan terhadap objek sengketa karena ia termasuk ahli waris yang mendapat porsi. Dalam hal Turut Tergugat seperti ini, ia bisa aktif terlibat mediasi, memberikan jawaban, mengajukan bukti dan sebagainya dan jika perkara sudah putus ia dapat terlibat dalam proses berikutnya.

Mengambil makna subtansial Pasal 132 [a] HIR, Turut Tergugat aktif bahkan dapat mengajukan gugatan balik (rekonvensi) apabila ternyata Turut Tergugat merasa bahwa dengan dijadikannya ia sebagai Turut Tergugat telah merugikan kepentingannya. Hal ini karena pada prinsipnya setiap orang dapat mengajukan gugatan apabila kepentingannya dirugikan. Gugatan balik tersebut harus diajukan kepada Penggugat dengan disertai atau bersama jawaban Tergugat (vide Pasal 132b HIR), tidak dibenarkan apabila Turut Tergugat melakukan gugatan balik kepada Tergugat lainnya.

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan Turut Tergugat ada dua macam, yaitu Turut Tergugat pasif dan Turut Tergugat aktif. Contoh-contoh berikutnya akan kita temukan dalam pemeriksaan kasus-kasus yang lain.

C. Tehnik Menentukan Urutan para Tergugat dan Turut Tergugat

Para pihak sendiri dan atau kuasa hukumnya yang harus seksama dan cermat menentukan kualifikasi pihak-pihak dalam suatu perkara. Siapa yang seharusnya menurut hukum duduk sebagai Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat. Bila mereka tidak cermat menentukan para pihak dalam sebuah gugatan, maka gugatan akan kandas di tengah jalan.

Dalam hal ada lebih dari satu Tergugat, maka untuk menentukan siapa Tergugat I, Tergugat II dan seterusnya harus melihat pada derajat perbuatan dan pertanggungjawaban masing-masing Tergugat. Tapi, derajat perbuatan dan pertanggungjawaban di antara para Tergugat tidak terlalu jauh perbedaannya. Adapun yang berbeda atau bahkan krusial adalah ketika menentukan antara (para) Tergugat dan Turut Tergugat.

Diperlukan kehati-hatian, terutama Hakim dalam memeriksa perkara yang ada subjek hukum Turut Tergugat. Kita takar keberadaan Turut Tergugat dengan tiga kriteria tersebut di atas. Takaran pertama untuk membedakan Tergugat dan Turut Tergugat tidaklah rumit. Jika pihak itu menguasai objek sengketa, apakah dengan alas hak atau tidak, secara melawan hukum atau tidak sudah barang tentu posisinya adalah Tergugat. Adapun terhadap takaran kedua, tidak berkewajiban melakukan sesuatu haruslah dilihat dengan jeli. Dalam suatu kasus yang diajukan, apakah benar Turut Tergugat tidak melakukan sesuatu (perbuatan), baik wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat. Misalnya, dalam kasus perbuatan melawan hukum (“PMH”), Tergugat melakukan suatu perbuatan sehingga digugat PMH, namun Turut Tergugat ini hanyalah pihak terkait yang tidak melakukan suatu perbuatan. Tapi, pihak tersebut oleh Penggugat turut digugat sebagai Turut Tergugat sehingga pada akhirnya Turut Tergugat tunduk pada isi putusan pengadilan.

Sekali lagi, kualifikasi Tergugat dan Turut Tergugat ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, hal tersebut telah menjadi suatu praktik yang diterapkan dari kasus per kasus.

D. Turut Tergugat dalam Pusaran Sengketa Perdata Agama

Turut Tergugat memiliki karateristik yang unik sesuai kasusnya masing-masing dan terkadang memunculkan perdebatan (debatable) terhadap kehadiran dan perannya. Sebagai bahan diskusi penulis kemukakan contoh-contoh sebagai berikut:

1. Turut Tergugat dalam Isbat Nikah

Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan pada bab II huruf b angka 2, halaman 144 merumuskan: “Jika dalam proses pemeriksaan permohonan isbat nikah dalam angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima”.

Rumusan tersebut menimbulkan pertanyaan, kapan keterikatan itu berlaku, apakah pada waktu pernikahan yang sekarang diajukan isbat atau ketika mengajukan permohonan/gugatan?

Respon terhadap persoalan di atas melahirkan dua pendapat berbeda yang agaknya sama-sama kuat. Pendapat pertama, keterikatan suami dengan istri sah yang terdahulu itu ketika peristiwa akad itu terjadi, bukan ketika permohonan isbat diajukan ke pengadilan. Meskipun ketika perkara isbat diajukan telah terjadi perceraian secara legal formal melalui pengadilan, istri yang telah dicerai itu tetap harus didudukkan sebagai pihak. Agurmentasi yang disodorkan pendapat pertama ini antara lain:
  • a. Bahwa akad nikah yang ditindaklanjuti hubungan sebadan memiliki dampak yang luas terhadap hak dan kewajiban masing-masing. Dalam hal kebendaan, lahir hukum harta bersama dan hukum kewarisan dan dalam kaitan dengan non kebendaan hadir hubungan nasab, perwalian dan lain sebagainnya.
  • b. Meskipun istri terdahulu telah dicerai, tidak adil kiranya jika istri yang lebih dulu ada diabaikan begita saja, padahal dengan isbat nikahnya suami dengan istri berikutnya terkait erat dengan harta bersama yang boleh jadi belum dituntaskan ketika suami menceraiakan istri pertama yang ketika itu sudah ada hubungan akad syar’i dengan istri kedua.
  • c. Demikian pula masalah warisan, jika dengan istri pertama memiliki keturunan (anak). Ketika suami suatu ketika meninggal, tentu ahli warisnya bukan hanya istri kedua dengan keturunannya, tapi juga anak-anak dari istri pertama.
  • d. Untuk memperjelas nasab dan perwalian pihak istri pertama wajar ditarik sebagai pihak untuk digali keterangannya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud rumusan Buku II “memasukkan istri terdahulu sebagai pihak” adalah jika istri terdahulu belum dicerai ketika isbat diajukan. Maka disebut “istri terdahulu”, bukan mantan istri, yakni sebelum dicerai melalui proses pengadilan. Dalil-dalil yang mendasari alasan ini antara lain:
  • a. Tidak ada hubungan hukum yang bermuara pada hak dan kewajiban lagi antara mantan istri dan mantan suaminya.
  • b. Jika ada akibat hukum karena perkawinan yang telah dilalui, banyak tersedia penyelesaian hukum sesuai dengan mekanismenya masing-masing di luar isbat nikah.
  • c. Isbat nikah dalam rangka perceraian, penyusun Buku II tidak menggariskan istri terdahulu ditarik sebagai pihak, apalagi yang sudah dicerai.
Banyak praktisi hukum yang cendrung pada pendapat pertama dan mendudukkan istri terdahulu sebagai pihak, tanpa mempersoalkan apakah istri terdahulu sudah dicerai atau belum. Persoalan muncul saat memposisikan istri terdahulu atau mantan istri, apakah sebagai Tergugat atau Turut Tergugat. Kalau sebagai Penggugat kemungkinannya kecil,. karena lazimnya istri terdahulu tidak mau dimadu sehingga perkawinan suaminya dengan wanita baru dilalui dengan kawin sirri.

Dalam kasus isbat poligami atau isbat terkait dengan istri terdahulu/mantan istri, formasi pihak dalam kasus ada tiga kemungkinan. Pertama, jika kompak suami dengan istri sirrinya sebagai Penggugat I dan Penggugat II melawan istri terdahulu sebagai Tergugat. Kedua, Suami sebagai Penggugat, istri sirri Tergugat I dan istri terdahulu Tergugat II dan formasi ketiga, Suami sebagai Pengugat, istri sirri Tergugat dan istri terdahulu sebagai Turut Tergugat.

Argumen diposisikan istri terdahulu sebagai Turut Tergugat karena ia tidak berkewajiban melakukan tindakan hukum, hubungan hukum perkawinan dengan suaminya sudah putus dan juga tidak menguasai objek sengketa/harta bersama. Meskipun bukan sengketa harta bersama, tapi kita harus ingat bahwa isbat poligami mengharuskan kumulasi dengan penetapan harta bersama. Boleh jadi bagian harta bersama istri terdahulu lebih besar daripada istri yang kemudian, disamping karena dia mendapatkan separo bagian ketika suaminya belum ta’dud/berbilang istri dan mendapat bagian pula setelah suaminya nikah lagi dan ia belum dicerai. Sekiranya ia tidak ditarik sebagai Turut Tergugat akan terjadi kedloliman karena tidak bisa mempertahankan haknya. Ditarik sebagai Tergugat tidak memenuhi persyaratan karena ia tidak berkewajiban melakukan perbuatan dan tidak menguasai barang.

2. Turut Tergugat dalam Sengketa Harta Bersama

Dalam sengketa harta bersama terbuka juga kemungkinan adanya Turut Tergugat. Turut Tergugat dalam hal ini biasanya instansi terkait, sebut saja perbankan, PPAT, Notaris, Badan Pertanahan Nasional dsb.

Pihak perbankan sering didudukkan sebagai Turut Tergugat dikarenakan harta bersama kedua belah pihak disimpan di bank, baik berupa tabungan, deposito atau giro. Atau kerena kedua belah pihak punya kridit atau pembiayaan di bank. Tidak ditariknya bank sebagai Tergugat karena sesungguhnya bank tidak menguasai objek sengketa, hanya menerima titipan sementara atau karena kedua pihak mempunyai tanggungan bersama di bank. Walaupun uang di bank milik nasabah tapi nasabah tidak boleh semaunya mengambil uangnya, tentu ada aturan khusus sesuai kesepakatan yang di tanda tangani..

Sebagai Turut Tergugat bank harus tunduk putusan, sekiranya diputus oleh Pengadilan pihak suami atau istri yang berhak atas uang tabungan misalnya, maka bank harus mematuhinya. Demikian pula seandainya Pengadilan memutus salah satu pihak yang berkewajiban membayar kridit, maka pihak bank harus menagih kepada pihak yang telah ditentukan oleh Pengadilan.

Turut Tergugat berikutnya dalam sengketa harta bersama biasanya PPAT, Notaris atau Kantor Pertanahan. PPAT dan atau Notaris ditarik sebagai Turut Tergugat terkait dengan akta peralihan hak yang telah mereka buat terhadap objek sengketa. Hal yang sama berlaku bagi Kantor Pertanahan terhadap objek sengketa yang telah diterbitkan sertipikat tanahnya. Mereka dituntut tunduk pada putusan Pengadilan manakala akta/sertipikat yang mereka keluarkan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak mengikat.

3. Turut Tergugat dalam Sengketa Kewarisan

Dalam sengketa kewarisan instansi terkait sebagaimana tersebut di atas juga bisa ditarik sebagai Turut Tergugat. Disamping itu, tentu ahli waris yang tidak melakukan suatu perbuatan hukum dan tidak menguasai objek sengketa. Ahli waris yang didudukkan sebagai Turut Tergugat dalam sengketa waris ada dua jenis. Pertama, pihak yang enggan atau tidak tega menggugat keluarganya sendiri, boleh jadi yang ia gugat adalah ibu/ayah kandungnya, sauadara kandung dsb, namun sebenarnya ia berkeinginan atau setidaknya senang bila mendapat bagian hak waris lewat gugatan yang diajukan ahli waris lain. Ahli waris demikian dapat disebut Penggugat pasif, ia berkeinginan mendapat porsi warisan tapi tidak mau merusak hubungan kekerabatan.

Jenis kedua adalah Turut Tergugat yang dalam proses persidangan aktif membela kepentingan salah satu pihak, Ada kemungkinan dia membela kepentingan Penggugat atau Tergugat. Jangan heran dalam sengketa waris yang Tergugatnya lebih dari satu terkadang ada Tergugat yang membela Penggugat, apalagi Turut Tergugat, logis saja jika ia membela salah satu pihak. Hal pihak memihak dalam kasus waris sering kita jumpai dalam keluarga hasil perkawinan poligami atau perkawinan berseri. Keluarga sekandung biasanya ikatan emosionalnya lebih kental daripada keluarga seayah atau seibu. Bila berhadapan keluarga sekandung dengan keluarga seayah/seibu lazimnya Turut Tergugat membela kepentingan keluarga yang sekandung dan ia akan bertindak aktif membela kepentingan mereka.

4. Turut Tergugat dalam Sengketa Perbankan Syariah

Pada umumnya sengketa perbankan yang terkait dengan usaha bank disebakan oleh adanya wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum. Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang dimaksud dengan wanprestasi adalah adanya pelanggaran terhadap perjanjian, sedangkan menurut pasal 1365 KUH Perdata perbuatan melawan hukum adalah tindakan dari pihak yang melakukan pelanggaran terhadap suatu ketentuan hukum yang berakibat merugikan orang.

Jika ada pihak terkait dalam sengketa perbankan, namun tidak menguasai objek sengketa dan tidak berkewajiban melakukan sesuatu perbuatan sehingga dia tidak berpotensi wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, maka dalam gugatan posisi yang tepat untuknya adalah sebagai Turut Tergugat.

Dengan batasan tersebut diatas maka Notaris selaku pihak yang membuat akta perjanjian pembiayaan, apakah murabahan, mudhorobah, ijarah atau lainnya dapat ditarik sebagai Turut Tergugat. Ada pula perusahaan semacam asuransi takaful yang menjamin pembiayaan nasabah apabila menghadapi resiko karena bencana alam atau kematian/jiwa dapat dijadikan Turut Tergugat terhadap tertanggung yang wanpretasi atau melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan lembaga keuangan yang memberikan kepercayaan padanya.

Kehadiran Turut Tergugat secara nyata akan kita temukan dalam proses di persidangan Pengadilan bukan dalam teori beracara. Semakin banyak kita tangani perkara yang beragam jenis maupun karakternya akan menambah khazanah perbendaharaan ilmu hukum kita. Kiranya dapat ditemukan contoh-contoh yang lain dalam berbagai kasus sengketa perdata di Pengadilan Agama yang semakin hari secara kualitas maupun kualitas semakin meningkat. Semoga bermanfaat!

Daftar Pustaka
  1. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata. 1995. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
  2. Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000.
  3. Dr. Muhammad Firdaus, dkk, Konsep dan Implementasi Bank Syri”ah, Renaisan, Jakarta, 2005.
  4. Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
  5. Yahya Harahap,. 2009. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika;
  6. Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
  7. Inpres No.01 Tahun 1991 tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam;
  8. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan;
Ditulis Oleh : H. A. Zahri, S.H, M. HI (Wakil Ketua Pengadilan Agama Polewali)

No comments:

Post a Comment