Tuesday, July 25, 2017

Gugatan Pembatalan Cekal Prof Yusril Ke PTUN Jakarta

Jakarta, 22 Agustus  2011
Kepada Yang Mulia
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Jl. A. Sentra Primer Baru Timur
Pulo Gebang
Jakarta Timur

Perihal:  Gugatan Pembatalan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia  Nomor : Kep– 201/D/Dsp.3/06/2011,  tanggal 27 Juni 2011, Tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana.

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Dengan hormat,
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini,  Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,warganegara Republik Indonesia, pekerjaan dosen, bertempat tinggal di Jalan  Karang Asem Utara No.32, Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan (Bukti P-1)selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”. Penggugat dengan ini  mengajukan gugatan terhadap Jaksa Agung Republik Indonesia, berkedudukan di Jakarta, beralamat di Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan dengan demikian berada di dalam yurisdiksi wilayah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, untuk selanjutnya  disebut sebagai  ”Tergugat”.

Adapun yang menjadi objek gugatan Penggugat dalam gugatan ini adalah Keputusan Tergugat, yakni Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 Tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana. (Bukti P-2). Mengingat gugatan ini Penggugat daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2011, maka sesuai ketentuan Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, pengajuan gugatan ini masih berada dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia dimaksud.

Sebelum menyampaikan petitum gugatan ini, izinkanlah Penggugat untuk terlebih dahulu menguraikan aspek-aspek formil gugatan ini yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, mengapa Penggugat tidak menggunakan upaya administratif melalui prosedur keberatan, dan aspek materil dari gugatan  yang berisi argumentasi yuridis yang menjadi landasan petitum gugatan ini, sebagai berikut:

II. KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MENGADILI GUGATAN INI

1. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang  No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka 9 Undang-Undang  No  51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara mendefenisikan Keputusan Tata Usaha Negara adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang membawa akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

2. Bahwa berdasarkan definisi sebagaimana dikemukakan dalam angka 1 di atas, Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana adalah terang benderang sebuah keputusan tertulis yang berisi penetapan (beschikking) dan langsung berlaku sejak dikeluarkan oleh pejabat yang membuatnya (einmalig);

3. Bahwa Kejaksaan Agung RI adalah sebuah lembaga pemerintahan yang awalnya dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 dan disebut sebagai “Jaksa Agung Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia” yang kemudian diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan, dan terakhir oleh Undang-Undang  No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan Agung Republik Indonesia adalah “lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Dengan demikian, Kejaksaan Agung Republik Indonesia  adalah “badan tata usaha negara” sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 31 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;

4. Bahwa Jaksa Agung, menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang  No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah “pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan”. Dengan demikian, nyatalah bahwa Jaksa Agung adalah “pejabat tata usaha negara” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;

5. Bahwa  Keputusan Tergugat  No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana jelas adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Bahwa Keputusan Tergugat a quo bukanlah keputusan pejabat tata usaha negara yang dikecualikan dari pengertian keputusan pejabat tata usaha negara karena “dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf d Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Tindakan pencegahan adalah murni tindakan administratif yang didasarkan atas kewenangan Tergugat yang diberikan oleh Pasal 35 huruf f  Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Pasal 91 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Kedua undang-undang ini jelas adalah undang-undang di bidang hukum administrasi negara, dan bukan undang-undang di bidang hukum pidana. Undang-Undang No 6 Tahun 2011 memang memuat ketentuan-ketentuan pidana khusus keimigrasian, baik formil maupun materil yang diatur dalam Bab X “Penyidikan” dan Bab XI “Ketentuan Pidana”. Sementara “Pencegahan dan Penangkalan” diatur secara khusus dalam Bab IX yang terpisah dari ketentuan-ketentuan pidana formil dan materil di bidang keimigrasian;

7. Bahwa Penggugat memang terkena pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI karena terkait dengan kepentingan Penyidik Kejaksaan Agung sehubungan dengan status Penggugat yang telah ditetapkan sebagai Tersangka tindak pidana korupsi yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP sejak tanggal 24 Juni 2010. Namun penyebutan ketentuan-ketentuan dalam kedua Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHP tersebut adalah dasar yang dijadikan Penyidik Kejaksaan Agung untuk menetapkan Penggugat sebagai Tersangka. Pasal-Pasal kedua Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHP itu – sebagaimana terlihat dalam konsiderans Keputusan Tergugat a quo — sama sekali bukan menjadi dasar bagi Tergugat untuk melakukan pencegahan kepada Penggugat;

8. Bahwa  kewenangan menyatakan seseorang menjadi Tersangka dalam suatu tindak pidana, termasuk kewenangan untuk menghentikan penyidikan, adalah wewenang Penyidik sebagaimana diatur di dalam KUHAP. Demikian pula kewenangan memutuskan untuk melakukan penahanan terhadap Tersangka, serta kewenangan untuk mengubah status tahanan atau  melepaskannya, adalah kewenangan Penyidik, sebagaimana diatur pula oleh KUHAP. Keputusan Penyidik yang berkaitan dengan menyatakan seseorang menjadi tersangka, melakukan penahanan dan hal-hal lain yang terkait dengan keduanya, yang didasarkan atas KUHAP, jelas bukan termasuk keputusan pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur dalam  Pasal 2 huruf d Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keberatan terhadap keputusan Penyidik seperti ini, sebagaimana diatur oleh KUHAP, dapat diajukan permohonan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri, bukan dipersengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara;

9. Bahwa sementara kewenangan memutuskan untuk mencegah seseorang meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI bukanlah kewenangan Penyidik karena KUHAP dan ketentuan-ketentuan hukum acara yang manapun juga tidak pernah memberikan kewenangan seperti itu kepada Penyidik. Kewenangan mencegah seseorang meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI karena  keterlibatannya dalam perkara pidana, adalah kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung (Tergugat) sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf f UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan  Republik Indonesia jo Pasal 92 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Seorang Jaksa Agung tidaklah otomatis seorang Jaksa yang berwenang melakukan penyidikan atau penuntutan dalam perkara pidana. Seorang Jaksa Agung dapat diangkat dari kalangan mana saja, baik Jaksa maupun bukan Jaksa. Sementara Tergugat — in concreto Saudara Basrief Arief — yang sekarang menjabat sebagai Jaksa Agung bukanlah seorang Jaksa, melainkan “mantan Jaksa” karena sudah pensiun beberapa tahun yang lalu. Karena itu,  lebih tepat yang bersangkutan disebut sebagai “mantan Jaksa yang menjadi Jaksa Agung”. Seseorang “mantan Jaksa” tidak dapat bertindak sebagai Penyidik perkara pidana dalam struktur dan mekanisme kerja Kejaksaan Agung. Seorang mantan Jaksa, sekalipun menjadi Jaksa Agung, tidak dapat bertindak menjadi Penyidik dan mengambil langkah-langkah terkait dengan penyidikan dan penuntutan. Namun seorang Jaksa Agung, tanpa memperdulikan apakah dia Jaksa atau bukan Jaksa, berwenang untuk memutuskan melakukan pencegahan terhadap seseorang untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana. Dengan demikian, adalah jelas bahwa kewenangan memutuskan melakukan pencegahan bukanlah kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan yang didasarkan kepada KUHAP, KUHP dan ketentuan-ketentuan di bidang hukum pidana lainnya, tetapi semata-mata adalah kewenangan administratif  pejabat tata usaha negara, walaupun orang yang dikenai pencegahan mempunyai keterlibatan dengan suatu tindak pidana;

10. Bahwa  Keputusan Tergugat No: Kep- 201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana – meskipun formatnya mengandung kejanggalan-kejanggalan sebagaimana layaknya sebuah Keputusan, sebagaimana akan diuraikan dalam angka III nanti — adalah keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final  serta membawa akibat hukum, dengan alasan sebagai berikut:

–        Bahwa Keputusan Tergugat a-quo secara sepintas dilihat dari judulnya mengesankan sifatnya yang berlaku umum yakni “Pencegahan Dalam Perkara Pidana”, namun isinya bersifat konkrit karena objek yang disebutkan dalam Keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas menyebutkan  “tindakan pencegahan keberangkatan ke luar negeri”  yang di dalam diktumnya menyebutkan nama Penggugat, dengan identitasnya, sebagai subyeknya  hukum yang dikenakan pencegahan;

–         Bahwa Keputusan Tergugat a-quo bersifat individual  karena tidak ditujukan kepada umum, tetapi secara spesifik  ditujukan kepada Penggugat, dan  karena itu Keputusan a-quo hanya berlaku kepada Penggugat, tidak berlaku kepada orang lain, apalagi kepada umum;

–         Bahwa Keputusan Tergugat a-quo telah bersifat final karena tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi lain baik bersifat horizontal maupun vertikal. Pasal 35  huruf f Undang-Undang RI No 16 Tahun 2004 dengan tegas menyebutkan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk “mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan”. Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pencegahan dan Penangkalan, serta Peraturan Jaksa Agung No PER-010/A/J.A/01/2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan Pencegahan dan Penangkalan, juga dengan tegas menyebutkan kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan, tanpa menyebutkan putusannya itu masih memerlukan persetujuan dari pejabat atau instansi lain, baik vertikal maupun horizontal;

–         Bahwa Menteri Hukum dan HAM yang membawahi Direktorat Jenderal Imigrasi, bukanlah instansi yang perlu dimintai persetujuan  agar Keputusan Tergugat a-quo mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 angka 3 Undang-Undang RI No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketentuan Pasal 91 ayat (2) UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa Menteri Hukum dan HAM hanyalah “melaksanakan Pencegahan” berdasarkan Keputusan yang antara lain dilakukan oleh Tergugat. Sementara Pasal 91 ayat (3) UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa Tergugat selaku “pimpinan kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f bertanggungjawab atas keputusan, permintaan, dan perintah Pencegahan yang dibuatnya”.

–         Bahwa Keputusan Tergugat a-quo telah menimbulkan akibat hukum, yakni Penggugat nyata-nyata tidak dapat meninggalkan tanah air untuk bepergian ke luar negeri, karena berdasarkan Surat Keputusan Tergugat, nama Penggugat telah nyata-nyata dicantumkan dalam daftar imigrasi sebagai subyek yang terkena pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI. Selain daripada itu, pejabat Imigrasi juga secara resmi telah menarik dan meminta Penggugat untuk menyerahkan paspor Penggugat kepada instansi yang bersangkutan

11. Bahwa Keputusan Tergugat a quo nyata-nyata telah menimbulkan kerugian kepada Penggugat, dengan tidak leluasanya Penggugat meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI dan kembali lagi, sebagaimana layaknya seorang warganegara dalam keadaan yang normal. Padahal kemerdekaan dan keleluasaan untuk pergi dan kembali dari/dan ke wilayah negara sendiri adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945, Universal Declaration of Human Rigths, United Nations Covenant on Civil and Political Rights,  dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Akibat pencegahan ini, Penggugat telah menderita kerugian baik moril, materil, akademik maupun politik. Kerugian moril antara lain Penggugat tidak dapat mengunjungi kaum kerabat karena pertalian darah yang sebagian adalah warganegara Malaysia dan Singapura, termasuk kerabat semenda karena perkawinan yang semuanya berkewarganegaraan Jepang dan Filipina. Kerugian materil, Penggugat tidak dapat menjankan aktivitas sebagai Advokat menghadiri rapat-rapat dengan klient di luar negeri, termasuk menghadiri negosiasi-negosiasi dengan perusahaan asing di luar negeri dalam rangka investasi. Sementara kerugian akademis, Penggugat tidak dapat melaksanakan tugas mengajar di Malaysia dan menghadiri berbagai kegiatan akademik di luar negeri. Kerugian politis, Penggugat tidak dapat memenuhi permintaan Pemerintah negara lain yang meminta Penggugat memecahkan beberapa persoalan yang mereka hadapi. Kepentingan Penggugat untuk membatalkan  pencegahan itu dengan melakukan upaya hukum adalah adalah jelas karena didasarkan atas kerugian yang nyata yang dialami Penggugat. Karena itu, Penggugat menganggap bahwa adagium “point de interet point de’action” telah terpenuhi untuk melakukan gugatan ini;

12. Bahwa Penggugat, dengan alasan-alasan yuridis sebagaimana akan diuraikan dalam angka III nanti, dengan tegas menolak Keputusan Tergugat a-quo karena menurut Penggugat keputusan tersebut memenuhi ketententuan-ketentuan yang menjadi alasan dibatalkannya keputusan dimaksud sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a, b dan c Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya penolakan Penggugat ini, maka sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka 10 Undang-Undang RI No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, penolakan tersebut telah dapat digolongkan sebagai “sengketa tata usaha negara”;

13. Bahwa ketentuan Pasal 47 Undang-Undang RI No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara menegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara “bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”;

14. Bahwa ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah No 15 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan menegaskan bahwa Keputusan Pencegahan atau Penangkalan dinyatakan berakhir karena (a) telah habis masa berlakunya; (b) dicabut oleh pejabat yang berwenang menetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2); atau (c) dicabut berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara;

15. Bahwa pejabat yang berwenang menetapkan pencegahan dan penangkalan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994 sebagaimana dikemukakan dalam angka 11 di atas antara lain adalah Jaksa Agung Republik Indonesia (Tergugat). Dengan demikian, Keputusan Jaksa Agung tentang pencegahan seseorang karena keterlibatannya dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf f Undang-Undang No 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesi, berdasarkan peraturan pelaksananya undang-undang ini, dapat dicabut berdasarkan putusan Peradilan Tata Usaha Negara;

16. Bahwa oleh karena badan peradilan pada dasarnya adalah bersikap pasif, maka tidak mungkin Pengadilan Tata Usaha Negara akan dengan begitu saja mengambil inisiatif memutuskan untuk mencabut suatu keputusan pencegahan atau penangkalan sebagaimana telah dikemukakan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994. Pengadilan Tata Usaha Negara hanya mungkin akan memutuskan demikian, setelah orang yang terkena pencegahan atau penangkalan melakukan gugatan, dan isi gugatan itu beserta argumentasi yuridisnya dapat diterima dan dipandang beralasan oleh majelis hakim sehingga dikabulkan;

17. Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan dalam angka 1 sampai angka 13  di atas, Penggugat menyimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang yurisdiksinya mencakupi tempat kedudukan Tergugat sebagaimana telah diuraikan di awal Surat Gugatan ini, tidak ada keraguan sedikitpun juga untuk menyimpulkan bahwa pengadilan ini  berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa sebagaimana tertuang dalam Surat Gugatan ini.

II   MENGAPA PENGGUGAT TIDAK MELAKUKAN UPAYA ADMINISTRATIF

1. Bahwa berbeda dengan UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang tidak mengenal adanya upaya administratif (administratief beroep) terhadap keputusan pencegahan terhadap seseorang, Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian – yang disahkan tanggal 5 Mei 2011 – memberikan pengaturan tentang adanya upaya administratif itu. Ketentuan itu mengatakan “Setiap orang yang dikenai pencegahan dapat menyampaikan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan”. Selanjutnya dikatakan bahwa “keberatan harus disampaikan secara tertulis dalam jangka waktu selama berlakunya pencegahan. Penyampaian keberatan tidak menunda pencegahan (Pasal 96 UU N0 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian”. Hanya itu saja ketentuan mengenai upaya administratif dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;

2. Bahwa Penggugat berpendapat norma yang mengatur tentang upaya administratif melalui prosedur “keberatan” sebagaimana diatur  dalam Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian di atas masih terlalu sumir untuk dapat dilaksanakan dalam praktik. Sebagaimana telah Penggugat katakan, Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan semua peraturan pelaksanaannya belum pernah memuat norma yang mengatur upaya administratif melalui prosedur keberatan, sehingga hal ini sepenuhnya merupakan norma baru yang diperkenalkan oleh Undang-Undang No 6 Tahun 2011. Karena itu belum pernah ada precedent yang dapat dijadikan acuan oleh Penggugat maupun Tergugat untuk bagaimana caranya mengajukan dan menangani serta  menyelesaikan upaya administratif melalui prosedur  keberatan;

3. Bahwa norma yang diatur di dalam Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 yang singkat dan sumir itu masih menyisakan berbagai hal terkait ketentuan-ketentuan teknis untuk melaksanakannya. Ketentuan Pasal 96 itu hanya mengatakan bahwa keberatan disampaikan secara tertulis dalam masa berlakunya pencegahan. Hal yang sangat penting berkaitan dengan hak mereka yang terkena pencegahan dan mengajukan upaya administratif melalui prosedur keberatan ialah: berapa lamakah keberatan yang mereka ajukan akan diputusan oleh pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Hal ini tidak diatur dalam undang-undang, sehingga, jika tidak diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang dimaksud, maka pasal ini  menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D UUD 1945. Apalagi, jika hal ini dikaitkan dengan sikap mental pejabat tata usaha negara yang cenderung mengabaikan dan tidak memperdulikan keberatan-keberatan yang diajukan atas keputusannya. Karena sumirnya norma yang mengatur upaya administratif ini, maka ketentuan Pasal 103 yang merupakan pasal penutup dalam Bab IX Undang-Undang No 6 Tahun 2011 dengan judul Bab “Pencegahan dan Penangkalan” mengatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenal pelaksanaan pencegahan dan penangkalan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

4. Bahwa berdasarkan uraian dalam angka 3 di atas, jelaslah ada norma yang bersifat imperatif dalam ketentuan Pasal 103 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 untuk mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan mengenai pencegahan dan penangkalan dengan Peraturan Pemerintah. Sementara Peraturan Pemerintah sekarang yang ada dan masih dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2011 ini hanyalah Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994, yang samasekali belum mengatur tentang mekanisme prosedur penyampaian keberatan dan penyelesaian upaya administratif, mengingat Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 memang belum memuat norma yang mengatur hal itu;

5.Bahwa Pasal 144 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang ini harus dikeluarkan selambat-lambatnya satu tahun sejak disahkannya undang-undang tersebut. Hingga gugatan ini diajukan ke PTUN Jakarta, Peraturan Pemerintah tersebut belum diterbitkan. Penggugat membatasi diri dalam memahami pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2011, dengan mengemukakan pendapat bahwa ketentuan-ketentuan mengenai upaya administratif dalam undang-undang ini belum dapat dilaksanakan karena belum ada Peraturan Pemerintahnya. Sementara Wakil Jaksa Agung Darmono berpendapat lebih ekstrim dengan mengatakan bahwa seluruh materi Undang-Undang No 6 Tahun 2011 ini belum berlaku, karena belum ada Peraturan Pemerintahnya, yang harus dikeluarkan paling lambat satu tahun sejak disahkannya undang-undang dimaksud. Sebab itu, Tergugat telah mencegah Penggugat dengan menggunakan Undang-Undang No 9 Tahun 1992, meskipun undang-undang ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 5 Me1 2011;

6. Bahwa selain argumentasi yuridis yang Penggugat kemukakan dalam angka 1 sampai angka 5 di atas, norma yang dirumuskan di dalam Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, mengatakan bahwa terhadap keputusan pencegahan, orang yang dikenai pencegahan “dapat” mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan itu. Kata “dapat” dalam rumusan Pasal 96 menunjukkan bahwa upaya administratif tersebut bukanlah sesuatu yang absolut harus ditempuh oleh orang yang terkena pencegahan. Kata “dapat” bersifat tentatif  yang mengandung makna “hak” yang dimiliki seseorang yang terkena pencegahan, yang boleh digunakannya, boleh juga tidak. Perumus undang-undang, jika menempatkan kata “dapat” dalam rumusan norma di dalam pasal, selalu menyadari bahwa kata itu bersifat alternatif, karena di samping cara yang disebutkan, masih ada alternatif cara lain. Sementara cara lain, yang sudah diketahui secara luas adalah, setiap keputusan pencegahan yang merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang dipersengketakan, cara menyelesaikannya adalah dengan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara;

7. Bahwa Pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara memang menyebutkan bahwa penyelesaian melalui pengadilan adalah upaya terakhir setelah upaya administratif yang ditempuh telah digunakan. Penggugat berpendapat bahwa ketentuan ini mengisyaratkan upaya administratif itu memang merupakan suatu kewajiban yang harus ditempuh oleh orang yang terkena keputusan dan merasa dirugikan apabila hal itu memang  merupakan suatu keharusan, namun jika hal itu bersifat tentatif, maka terbuka saja kesempatan bagi orang yang terkena pencegahan untuk langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Apalagi jika  orang tersebut secara subyektif berkeyakinan bahwa melakukan upaya administratif hanya akan membuang waktu yang kecil sekali kemungkinannya akan dikabulkan;

8. Bahwa berdasarkan uraian dalam angka 1 sampai 7 di atas, Penggugat menyimpulkan bahwa Penggugat secara sengaja tidak ingin menempuh upaya administratif melalui mekanisme penyampaian keberatan dalam kasus yang Penggugat hadapi, melainkan langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan dua alasan, yakni (1) norma yang mengatur upaya administratif dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2011 bersifat sumir dan belum dapat dilaksanakan tanpa adanya Peraturan Pemerintah yang mengaturnya lebih lanjut; (2) Keberadaan upaya administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011, bukanlah bersifat absolut, melainkan adalah hak yang boleh digunakan oleh Penggugat atau tidak. Penggugat, dengan pertimbangan-pertimbangan subyektifnya sendiri, memilih untuk tidak menggunakan hak itu dan langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara;

III.ARGUMENTASI YURIDIS PENGGUGAT MENOLAK KEPUTUSAN TERGUGAT A QUO

1. Bahwa Keputusan Tergugat  No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 yang menjadi obyek sengketa dalam gugatan ini, bukanlah Keputusan yang berdiri sendiri. Keputusan a quo terkait dan tidak dapat dipisahkan dari Keputusan Tergugat sebelumnya No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana yang dalam diktumnya memutuskan dan menetapkan Penggugat dikenai pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI selama 1 (satu) tahun “terhitung mulai tanggal 26 Juni 2011, sejak berakhirnya Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 tentang pencegahan dalam perkara pidana terhadap Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra”;

2. Bahwa Keputusan Tergugat No Kep-212/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 25 Juni 2011 yang berisi pencegahan terhadap Penggugat, dalam konsideran mengingatnya selain menggunakan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Kemigrasian, juga menggunakan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, serta Peraturan Jaksa Agung No: Per-010/A/J.A/01/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk Melakukan Pencegahan dan Penangkalan. Atas dasar aturan-aturan ini, maka Penggugat dikenakan pencegahan selama 1 (satu) tahun, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2010 sampai dengan 25 Juni 2011. Ketentuan yang mengatur bahwa Tergugat boleh mencegah Penggugat selama 1 (satu) tahun tidaklah ditemukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang disebutkkan di atas, melainkan diatur dalam Peraturan Terugat No: Per-010/J.A/01/2010;

3. Pada tanggal 5 Mei 2011 Undang-Undang yang menjadi dasar pencegahan terhadap Penggugat, yakni Undang-Undang No 9 Tahun 1992, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan undang-undang yang baru, yakni Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pencabutan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 yang menjadi dasar pencegahan itu terjadi lebih kurang 50 hari sebelum pencegahan terhadap Penggugat berakhir pada tanggal 25 Juni 2011. Perubahan hukum dengan pergantian undang-undang ini membawa implikasi kepada pencegahan Penggugat, karena Undang-Undang No 6 Tahun 2011 membatasi masa pencegahan maksimum hanya 6 (enam) bulan, meskipun sesudah itu dapat diperpanjang untuk setiap kali 6 (enam) bulan lamanya.  Sementara terhadap Penggugat, pencegahan dilakukan untuk masa 1 (satu) tahun berdasarkan Peraturan Tergugat a quo.  Dalam Bab IX Undang-Undang No 6 Tahun 2011 yang mengatur tentang peralihan, tidak terdapat ketentuan yang mengatur bagaimanakah nasib keputusan pencegahan berdasarkan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 dengan berlakunya Undang-Undang No 6 Tahun 2011. Pasal 141 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 hanya mengatur peralihan dalam hal izin keimigrasian, suami atau istri dalam perkawinan campuran yang memiliki izin tinggal terbatas, dokumen perjalanan RI dan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Tidak ada ketentuan peralihan mengenai masa pencegahan dan penangkalan;

4. Bahwa Penggugat berpendapat, dengan berlakunya Undang-Undang No 6 Tahun 2011 yang membatasi masa pencegahan maksimum 6 (enam) bulan, maka keputusan pencegahan selama 1 (satu) tahun yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 beserta peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Tergugat a quo, dengan sendirinya batal demi hukum. Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian telah dicabut dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2011. Sementara, Peraturan Tergugat a quoyang mengatur masa pencegahan maksium 1 (satu) tahun nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang No 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 143 undang-undang ini, ketentuan masa pencegahan maksimum 1 (satu) tahun tersebut dengan sendirinya telah tidak berlaku lagi.

5. Bahwa walaupun secara formil, Tergugat mendiamkan saja Keputusan Tergugat No: Kep-202/D/Dsp.3/06/2011 dan tidak pernah berinisiatif mencabut atau memperbaikinya untuk disesuaikan dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2011, namun secara materil Keputusan pencegahan selama 1 (satu) tahun sudah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini sejalan dengan prinsip umum dalam hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3)  Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan “Setiap ada perubahan pada peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka”. Walaupun ketentuan secara spesifik mengatur perubahan hukum dalam kaitannya dengan perkara pidana, namun  prinsip yang dikandungnya dapat ditafsirkan sebagai berlaku umum dalam setiap kasus hukum. Tergugat memang tidak mungkin melakukan perbaikan atas Keputusannya, karena terbukti sampai tanggal 25 Juni 2011, Tergugat tidak mengetahui bahwa Undang-Undang No 9 Tahun 1992 telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2011, sehingga Tergugat “memperpanjang” pencegahan terhadap Penggugat dengan menggunakan dasar hukum undang-udang yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketidaktahuan Tergugat terhadap perubahan ini sungguh memalukan, sehingga Penggugat menyurati Presiden untuk menegur Tergugat sekeras-kerasnya, dan bilamana perlu memberhentikan Tergugat dari jabatannya karena ketidakmampuan menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai Jaksa Agung.

6. Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada tanggal 5 Mei 2011  yang membatasi masa pencegahan maksimum 6 (bulan), maka terhitung sejak tanggal itu, semua keputusan pencegahan yang melampaui batas waktu enam bulan, dengan sendirinya, demi hukum, sudah harus dianggap tidak berlaku lagi, demi kepastian hukum dan keadilan. Karena itu, Penggugat berpendapat bahwa Keputusan Tergugat No: Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang mencegah Penggugat selama 1 (satu) tahun yang seharusnya berakhir tanggal 25 Juni 2011, secara materil sudah tidak berlaku lagi sejak tanggal 5 Mei 2011 dengan berlakunya Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;

7. Bahwa Tergugat ternyata baru mengeluarkan Keputusan No Kep- 195/D/Dsp.2/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 yang memperpanjang masa pencegahan sebelumnya yang didasarkan atas Keputusan Tergugat No: Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 dan menganggap bahwa pencegahan sebelumnya baru berakhir tanggal 25 Juni 2011, tanpa mengindahkan, karena tidak tahu, bahwa Undang-Undang No 6 Tahun 2011 telah diberlakukan terhitung tanggal 5 Mei 2011. Tergugat – sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya di atas – ternyata dalam perpanjangan masa pencegahan ini masih menggunakan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 dan mencegah Penggugat untuk masa 1 (satu) tahun lagi ke depan sampai tanggal 25 Juni 2012. Seketika Tergugat mengeluarkan Keputusan No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011. Penggugat, pada tanggal 27 Juni 2011 langsung mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta untuk membatalkan Keputusan tersebut;

8. Bahwa langkah Penggugat untuk mendaftarkan gugatan atas Keputusan Tergugat No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 mendapat reaksi dari Tergugat dan jajarannya sehingga terjadi polemik di media massa antara Penggugat dengan Wakil Jaksa Agung Darmono, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, serta beberapa Pejabat Struktural di Direktorat Jenderal Imigrasi. Wakil Jaksa Agung Darmono berkeras mengatakan bahwa Keputusan Tergugat  dimaksud telah benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga balik menuding Penggugat mengajukan gugatan yang tidak berdasar. Sampai dengan tanggal 27 Juni 2011 sore dan Selasa tangga 28 Juni pagi, Wakil Jaksa Agung Darmono masih terus mempertahankan pendiriannya bahwa Keputusan  Tergugat No Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 adalah benar dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;

9. Bahwa setelah polemik berlangsung dan Keputusan Tergugat No Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 menarik perhatian kalangan politis, maka Tergugat dalam komunikasinya dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan akan merevisi Keputusan pencegahan terhadap Penggugat. Komunikasi itu terjadi pada hari Senin malam tanggal 27 Juni 2011. Tergugat dan jajarannya, nampaknya baru terkesima menyadari kesalahan karena ketidaktahuannya bahwa Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian telah dicabut, sehingga Keputusan Tergugat No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 mengandung kesalahan yang fatal. Namun suatu keanehan dalam pandangan Penggugat, nampak telah terjadi dengan revisi Keputusan dimaksud, melalui Keputusan Tergugat a quoyang tanggalnya dicantumkan “27 Juni 2011”. Berdasarkan bukti-bukti yang Penggugat kemukakan di atas, maka Penggugat berkeyakinan penggunaan tanggal “27 Juni 2011” dalam Keputusan Tergugat a quo adalah tanggal palsu, yakni tanggal yang dimundurkan ke belakang, sehingga berakibat Keputusan Tergugat a quo berlaku surut sejak tanggal 27 Juni 2011;

10. Bahwa memberlakukan suatu Keputusan yang membawa akibat hukum bagi seseorang secara surut ke belakang (retro-aktif) adalah bertentangan dengan hak asasi manusia, yang substansinya diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 4 jo ayat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, pencantuman tanggal mundur dalam Keputusan Tergugat a quo sehingga keputusan itu berlaku secara retro-aktif adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku. Suatu keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah salah satu alasan  bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan keputusan pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang 9 Tahun 2004 tentang PerubahanAtas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

11. Bahwa Keputusan Tergugat a quo, dilihat dari sudut format dan redaksinya, adalah tidak lazim sebagaimana layaknya sebuah Keputusan sebuah lembaga Pemerintahan yang bertugas menegakkan hukum. Keputusan Tergugat a quo tidaklah secara sistematis mengemukakan apakah dasar pemikiran perlunya dilakukan pencegahan terhadap Penggugat, yang lazimnya dituangkan dalam konsideran “menimbang” dan apakah dasar-dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan tersebut yang lazimnya dituangkan di dalam konsideran “mengingat” dan kemudian secara sistematis pula merumuskan apa yang menjadi diktum dari keputusan itu. Konsideran “menimbang” dan “mengingat” dalam Keputusan a quo tidak jelas. Begitu juga diktum keputusannya terasa mengandung kejanggalan.

12. Bahwa antara Judul Keputusan a quo dengan diktum keputusannya tidak menunjukkan kesinambungan alur berpikir yang logis dan sistematis, sehingga dilihat dari sudut pandangan hukum Keputusan a quo sebenarnya adalah keputusan yang membingungkan. Judul Keputusan a quo adalah “PENCEGAHAN DALAM PERKARA PIDANA”, sementara dalam diktum Keputusannya “menetapkan” 1. Mencabut Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-195/D/Dsp.3/6/2011 tanggal 24 Juni 2011 sejak tanggal ditetapkan Keputusan Jaksa Agung yang baru; 2. Memperbaiki dan menerbitkan  Keputusan Jaksa Agung RI tentang pencegahan dalam perkara pidana. Selanjutnya dikatakan:

PERTAMA: Terhadap Seseorang dengan identitas sebagai berikut:
      Nama lengkap              : Prof. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA
      Tempat lahir                 : Belitung
      Umur, tanggal lahir   : 55 Tahun/5 Pebruari 1956
      Jenis Kelamin              : Laki-laki
      Kebangsaan                  : Indonesia
      Tempat tinggal            : Jalan Karang Asem Utara 32, Kuningan, Jakarta
      Agama                            : Islam
      Pekerjaan                      : Swasta
      Pendidikan                   : S-3 (Universiti Sains Malaysia)
      karena dugaan keterlibatannya melakukan tindak pidana korupsi dalam pungutan biaya akses fee dan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Sistem Administrasi Badan Hukum Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM RI, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KEDUA: Keputusan ini berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung mulai tanggal 26 Juni 2011 sejak berakhirnya Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 tentang pencegahan dalam perkara pidana terhadap Prof. Dr. YUSRIL IHZA MAHENDRA;
Cara Tergugat merumuskan sebuah Keputusan yang tidak sistematis serta membingunkan menunjuk cara kerja Tergugat yang tidak professional, yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga menjadi alasan untuk membatalkannya,  sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

13.  Bahwa kewenangan yang diberikan kepada Tergugat sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf f Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, bunyinya jelas yakni “mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Maka logisnya jika kewenangan yang bersumber dari undang-undang ini dituangkan ke dalam sebuah Keputusan, maka Judul Keputusan Tergugat a quo yang logis adalah “Pencegahan untuk Keluar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Terhadap Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra karena Keterlibatannya dalam Perkara Pidana”, barulah kemudian dikemukakan konsideran menimbang, mengingat, membaca, memperhatikan dan sebagainya sebelum akhirnya sampai kepada diktum keputusan, yang menyangkut identitas orang yang dikenai pencegahan ke luar negeri beserta lamanya jangka waktu pencegahan. Keputusan Tergugat betapapun dapat dipahami isinya, namun adalah keputusan yang tidak cermat dan sekaligus tidak menggambarkan cara bekerja yang professional yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga menjadi alasan untuk dibatalkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf B Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tengang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;

14. Bahwa terlepas dari ketidakcermatan perumusan Keputusan a quo, yang terbaca secara jelas dalam konsideran “menimbang” Keputusan a quo adalah kalimat yang mengatakan “Bahwa dalam rangka mendukung operasi Yustisi pada tahap penyidikan, dipandang perlu untuk melakukan tindakan pencegahan keberangkatan ke luar negeri terhadap tersangka tersebut pada halaman dua, dengan menerbitkan Keputusan Jaksa Agung RI”. Jadi, inilah satu-satunya alasan rasional mengapa terhadap Penggugat, perlu dilakukan pencegahan, dengan mengingat bahwa kewenangan Tergugat dalam melakukan pencegahan seseorang meninggalkan wilayah RI karena “keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan”;

15. Bahwa terminologi “keterlibatan” seseorang “dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan” adalah terminologi yang  multi tafsir seperti halnya teminologi  seseorang “terlibat G 30 S PKI” di zaman Orde Baru dahulu. Istilah “terlibat” adalah istilah politik yang digunakan oleh militer Orde Baru dan bukan istilah hukum. Dalam kasus Tergugat, Tergugat memang lebih dahulu dinyatakan sebagai “Tersangka”, sehingga makna “terlibat” menjadi jelas. Dalam kapasitas sebagai “tersangka” itulah terhadap Penggugat dikenakan pencegahan, dan pencegahan itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

16. Bahwa pada hemat Penggugat, kewenangan Tergugat untuk melakukan pencegahan karena keterlibatan seseorang “dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan” haruslah dikaitkan dan disesuaikan antara lain dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai induk dari hukum acara pidana di negara ini. Dalam kedudukan Penggugat sebagai Tersangka itu, sesuai KUHAP, maka hanya akan ada dua tahapan yang dapat ditempuh dalam proses  hukum terhadap Penggugat,  yakni tahapan “Penyidikan” dan tahapan “Penuntutan”.  Kedua tahapan ini secara tegas dipisahkan oleh KUHAP, yang masing-masing di atur dalam Bab IV “Penyidikan” dan Bab XV “Penuntutan”. Oleh karena itu, agar kewenangan pencegahan itu dilakukan Tergugat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, Tergugat hanya mungkin melakukannya dalam konteks “penyidikan” atau “penuntutan” atau kedua-duanya sekaligus. Di luar kedua konteks ini, tindakan Tergugat untuk mencegah Penggugat  adalah tindakan kesewenang-wenangan karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini, Tergugat menyatakan dalam pertimbangan Keputusan a quobahwa perlu mencegah Penggugat untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI dalam rangka “operasi Yustisi pada tahap penyidikan”. Jadi jelas bahwa pencegahan itu dilakukan untuk tahap penyidikan,  bukan dan/atau tidak termasuk dalam rangka  “operasi Yustisi pada tahap penuntutan”;

17. Bahwa Penggugat telah dinyatakan sebagai Tersangka sejak tanggal 24 Juni 2010 dan sejak itu proses penyidikan terhadap Penggugat telah dilakukan, demikian juga pemeriksaan terhadap saksi-saksi, kecuali saksi yang menguntungkan, yakni Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhohoyono yang Penggugat minta berdasarkan ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP yang ditolak untuk dipanggil oleh penyidik dan petinggi Kejaksaan Agung. Di tengah polemik Penggugat dengan unsur pimpinan Kejaksaan Agung ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)  M. Amari mengumumkan kepada publik bahwa penyidikan terhadap Penggugat sudah selesai dan berkas perkara sudah P-21 pada tanggal 21 Januari 2011. Pernyataan kepada publik bahwa status berkas perkara Penggugat sudah P-21 dinyatakan secara berulang-ulang oleh Jampidsus Amari dan kemudian oleh Jampidsus Andi Nirwanto, dan bahkan oleh Tergugat, dan terakhir diulangi lagi oleh Tergugat ketika Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perkara No. 65/PUU/IX/2010 yang mewajibkan penyidik untuk memanggil saksi-saksi menguntungkan yang diminta Penggugat. Pernyataan Pimpinan Kejaksaan Agung yang berulang-ulang bahwa berkas perkara Penggugat telah P-21 di berbagai media massa dan tidak pernah dilakukan bantahan meskipun hak jawab diberikan oleh undang-undang pers, haruslah dianggap sebagai informasi yang benar dan dapat dipercaya oleh publik di tanah air, termasuk oleh Penggugat;

18. Bahwa karena “operasi Yustisi di tahap penyidikan” kepada Penggugat telah selesai dan berkas perkara telah dinyatakan lengkap dan dinyatakan P-21 pada tanggal 21 Januari 2011, maka Keputusan Tergugat a quo yang mencegah penggugat meninggalkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 27 Juni 2011, jelas adalah tindakan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan KUHAP sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya keputusan pejabat tata usaha negara yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku adalah  menjadi salah satu alasan untuk membatalkan Keputusan Tergugat a quosebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a  Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;

19. Bahwa menurut keterangan Tergugat, meskipun berkas perkara sudah P-21 dan tidak pernah ada lagi pemeriksaan kepada Penggugat sejak akhir Desember 2010, namun Kejaksaan Agung hingga kini belum juga melimpahkan berkas perkara Penggugat ke pengadilan, karena pada tanggal 22 Desember 2010 Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi telah melepaskan Romli Atmasasmita – mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum, Departemen Kehakiman dan HAM — dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Tergugat berulangkali menyatakan kepada publik bahwa lembaganya tengah menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung yang melepaskan Romli Atmasasmita karena putusan itu membawa implikasi kepada Penggugat, yakni apakah perkara Penggugat akan diteruskan ke pengadilan atau dihentikan dengan menerbitkan SKP2 (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan). Mengingat Romli didakwa bersama-sama dengan Penggugat dan dalam dalam Surat Panggilan terhadap Penggugat sebagai Tersangka, dicantumkan Pasal 55 ke satu ayat (1) KUHP yang menunjukkan Penggugat sebagai “turut serta” melakukan apa yang dilakukan Romli. Dalam proses pemeriksaan, Penggugat mengetahui bahwa apa yang dimaksud dengan “turut serta” dalam itu ialah dalam konteks “memberi kesempatan atau setidak-tidaknya melakukan pembiaran” terhadap Romli  sehingga dia leluasa melakukan korupsi. Kalau Romli dilepaskan, yang berarti dia memang tidak melakukan korupsi, maka pemberian kesempatan atau pembiaran apa yang Penggugat berikan  kepada Romli untuk   melakukan korupsi;

20. Putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara Romli ini membuat Kejaksaan Agung seperti linglung dan kebingungan untuk berbuat apa terhadap Penggugat. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan yurisprudensi – sehingga sudah dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi tetap — sejak zaman Hooge Raad Hindia Belanda hingga zaman Mahkamah Agung Republik Indonesia di masa kini, yang menunjukkan bahwa kalau beberapa orang didakwa secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka satu dibebaskan (vrijspraak) atau dilepaskan (ontslag), maka yang lain harus dibebaskan atau dilepaskan pula.  Karena itu, pada hemat Penggugat, Kejaksaan Agung hanya akan melakukan hal yang sia-sia jika terus ngotot ingin mendakwa Penggugat ke pengadilan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan publik akan menilai bahwa mendakwa Penggugat bukan lagi demi penegakan hukum, melainkan tindakan balas dendam aparatur Kejaksan Agung akibat kekalahan mereka dalam perkara di Mahkamah Konstitusi: pimpinan mereka, Jaksa Agung Hendarman Supandji yang disebut oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, Dr. Marwan Effendi,  sebagai “Jaksa Agung Sah Dunia Akhirat”, ternyata dan terbukti jangankan di akhirat, di atas dunia fana inipun yang bersangkutan dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Jaksa Agung yang illegal, sehingga Presiden terpaksa memberhentikannya;

21. Bahwa kini tinggal satu-satunya jalan bagi Kejaksaan Agung untuk mendakwa Penggugat, ialah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi Romli. Jika putusan PK menghukumnya, maka terbuka kesempatan bagi Kejaksaan Agung untuk mendakwa Penggugat. Sebaliknya, kalau permohonan PK Kejaksaan Agung ditolak,  maka tidak ada pilihan lain bagi Kejaksaan Agung kecuali menerbitkan SKP2 kepada Penggugat. Namun patut disadari bahwa berdasarkan Pasal 263 KUHAP, tidak ada hak apapun bagi Jaksa untuk melakukan PK.  Pasal 263 KUHAP juga dengan tegas mengatur bahwa terhadap putusan ”bebas” (vrijspraak) dan “lepas” (ontslag) tidak boleh dilakukan upaya peninjauan kembali.  Dalam praktik peradilan – yang Penggugat tidak setuju dan kini sedang melawannya melalui Mahkamah Konstitusi – dalam hal putusan “bebas” adakalanya PK yang diajukan Jaksa diterima dengan alasan putusan itu bukan bebas murni (verkapte vrijspraak) seperti dialami Muchtar Pakpahan, Sjahril Sabirin, Polycarpus dan Joko Chandra. Namun hingga kini belum pernah ada PK yang diajukan Jaksa terhadap putusan “lepas” karena memang tidak pernah ada praktik peradilan yang membedakan antara “lepas murni” (zuijvers ontslag) dengan “lepas tidak murni” (verkapte ontslag). Menurut Tergugat, Kejaksaan Agung yang dipimpinnya sedang menelaah putusan Romli itu, entah sampai kapan;

22. Bahwa dengan status berkas perkara yang sudah P-21, maka alasan Tergugat dalam Keputusan Tergugat a quo yang menyatakan bahwa perlunya Penggugat dicegah adalah “dalam rangka mendukung operasi Yustisi di tahap penyidikan” yang menjadi konsideran Keputusan Tergugat a quo menjadi tidak beralasan. Kalaulah Penggugat hingga kini perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan, atau belum dihentikan, karena Kejaksaan Agung sedang menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara Romli, maka hal itu  sepenuhnya adalah urusan dan tanggungjawab Tergugat, bukan urusan dan tanggungjawab Penggugat.  Berapa lama lembaga yang dipimpin Tergugat akan mengkaji putusan tersebut, apakah setahun atau sepuluh tahun atau sampai datangnya hari kiamat, wallahu a’lam bissawwab, tidak seorangpun yang mengetahuinya kecuali Tuhan Yang Maha Tahu. Namun tidaklah beralasan karena Tergugat dan jajarannya tak kunjung selesai menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung itu, maka  Penggugat yang dikenakan beban pencegahan untuk bepergian ke luar negeri. Tergugat seharusnya mempertimbangkan segala sesuatunya dari segala segi dan jika menggunakan kerangka berpikir yang jernih, jujur, arif dan bijaksana, seharusnya Tergugat tidak sampai pada keputusan mencegah Penggugat seperti itu. Adalah tidak adil dan tidak fair, Tergugat dan jajarannya yang berlama-lama menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung dan tak kunjung selesai,  ibarat lakon “Menunggu Godot” yang tak kunjung datang seperti dikisahkan oleh novelis Samuel Backett, tetapi Penggugat yang dijadikan korban dikenai pencegahan ke luar negeri. Keterlambatan Terugat dan jajarannya dalam menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung, yang sudah berlangsung lebih dari 8 (delapan) bulan tak kunjung selesai, telah menyebabkan “nasib” Penggugat terkatung-katung. Cara kerja birokrasi yang lamban seperti ini menunjukkan cara kerja yang tidak efisien yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;

23. Bahwa setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No 65/PUU/MK/IX/2010 tanggal  Agustus 2011 yang lalu, yang mewajibkan Penyidik bawahan Tergugat untuk memanggil saksi-saksi menguntungkan yang diminta oleh Penggugat, yakni memanggil Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Sukarnoputri, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie, Tergugat kembali menyatakan kepada publik bahwa lembaga yang dipimpinnya sedang menelaah putusan itu sebelum memutuskan apakah akan memanggil untuk diperiksa saksi-saksi menguntungkan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi atau tidak dalam pemeriksaan tambahan perkara Penggugat. Bila menelaah putusan Mahkamah Agung dalam perkara Romli saja sudah lebih 8 (delapan) bulan belum kunjung selesai, maka akan berapa lama lagikah Tergugat dan jajarannya akan menelaah putusan Mahkamah Konstitusi. Apakah menelaah putusan Mahkamah Konstitusi ini nantinya juga akan menjadi “operasi yustisi di bidang penyidikan” sehingga Penggugat akan kembali diperpanjang masa pencegahannya? Adanya ketidakpastian seperti membawa implikasi diabaikannya asas kepastian hukum, akuntabilitas dan profesionalitas yang merupakan  prinsip-prinsip dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keputusan Tergugat a quodengan sadar telah melanggar asas-asas ini;

24. Bahwa sedari awal, Penggugat mencurigai dijadikannya Penggugat sebagai Tersangka dalam perkara dugaan korupsi “Sisminbakum” di Departemen Kehakiman dan HAM mengandung motif politik menjadikan Penggugat sebagai target kepentingan politik Pemerintah yang sedang berkuasa. Baik Jaksa Agung Hendarman Supandji, Plt. Jaksa Agung Darmono maupun Tergugat berulangkali membantah adanya motif politik dibalik perkara ini. Namun Penggugat telah berulangkali pula meminta ketiganya untuk memberikan penjelasan non-politis, tetapi  murni yuridis, mengapa di antara 7 (tujuh) orang yang menjadi Menteri Kehakiman dan HAM – belakangan berubah menjadi Menteri Hukum dan HAM – hanya Penggugat satu-satunya yang dinyatakan sebagai Tersangka dalam kasus “Sisminbakum”. Dalam dakwaan terhadap Yohannes Woworuntu maupun terhadap Romli Atmasasmita dikatakan antara lain disebutkan mendakwa Yohanes Woworuntu bersama-sama dengan sejumlah orang, serta  “Yusril Ihza Mahendra Menteri Kehakiman dan HAM”  melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama dari tahun 2000 sampai 5 November 2008. Penggugat menjadi menteri Kehakiman dua kali, yakni 24 Oktober 1999 sampai 7 Pebruari 2001 dan kemudian dari tanggal 10 Agustus 2001 sampai 20 Oktober 2004. Penggugat tidak pernah menjadi Menteri Kehakiman dan HAM sampai tahun 2008 seperti disebutkan Penuntut Umum dalam dakwaannya;

25. Bahwa dalam kurun waktu 2000-2008 ada tujuh orang menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, yakni Penggugat, Baharuddin Lopa, Marsillam Simandjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata, yang semuanya menjalankan kebijakan “Sisminbakum” yang sama dengan apa yang Penggugat jalankan, tetapi mengapa mereka tidak dinyatakan sebagai Tersangka? Zulkarnaen Yunus dan Samsudin Manan Sinaga didakwa ke pengadilan dengan dakwaan “meneruskan kebijakan Romli sebagai Dirjen sebelumnya” dan dihukum bersalah. Nah, kalau kalau kedua orang ini didakwa karena meneruskan kebijakan Romli, maka bukankah seharusnya Baharuddin Lopa, Marsillam Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata, semuanya juga harus didakwa karena mereka meneruskan kebijakan Pengggugat? Pertanyaan logis seperti ini tidak pernah mampu dijawab Pimpinan Kejaksaan Agung, sejak zaman Hendarman Supandji sampai Basrief Arif, meskipun mereka berulangkali menyatakan tidak ada motif politik di balik kasus Sisminbakum. Bahkan belakangan, Sisminbakum yang sama yang dilaksanakan pada masa Penggugat menjadi Menteri Kehakiman dan HAM tahun 2000 itu, diperkuat pemberlakukannya dengan undang-undang, yakni Pasal 9 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini dibuat atas persetujuan bersama Prsiden dan DPR. Kalau memang Sisminbakum itu korupsi sebagaimana dikatakan Kejaksaan Agung, mestinya mereka menjadikan Presiden SBY dan seluruh anggota DPR yang mensahkan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 itu dijadikan tersengka semua. Ini semua menunjukkan bahwa Penggugat memang sengaja dijadikan sebagai target politik untuk dilumpuhkan dengan cara merekayasa   kasus “Sisminbakum” ini mulai awal Oktober 2008. Dua bulan sebelumnya, Agustus 2008, Penggugat mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Dokumen Wikileaks yang tersebar ke seluruh dunia  secara terbuka menyebutkan bahwa Presiden SBY telah memerintahkan Kepala Badan Intelejen Negara untuk  “memata-matai” Penggugat karena dianggap sebagai “rival politiknya”. Penggugat telah menkorfirmasikan hal ini kepada Samsir Siregar, mantan Kepala BIN dan dia membenarkannya. Adanya berbagai tekanan politik terhadap institusi yang dipimpin Tergugat, termasuk tekanan perpanjangan pencegahan, menunjukkan Keputusan Tergugat a quo diterbitkan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni keputusan yang tidak professional;

26. Bahwa sementara itu, sebagaimana telah Penggugat uraikan dalam point-point di atas, pemeriksaan perkara Penggugat terus menggantung sejak Oktober 2008 ketika Penggugat diperiksa sebagai saksi, apalagi setelah dinyatakan sebagai terdakwa,   telah menjadi berita-berita besar media yang memuat keterangan baik Pimpinan maupun Pejabat Eselon II Kejaksaan Agung.  Pernyataan-pernyataan pers yang dibuat oleh Pimpinan dan Pejabat Eselon II Kejaksaan Agung ini telah menjadi bagian dari propaganda politik yang menyudutkan dan membunuh karakter Penggugat dengan menyampingkan asas praduga tak bersalah dan “due process of law” yang fair dan adil. Oleh karena itu Keputusan Tergugat a quo, yang mencegah Penggugat untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI, tidak lagi didasarkan atas kepentingan “operasi Yustisi di bidang penyidikan” yang nyata-nyata penyidikan sudah selesai, tetapi Tergugat sebagai pejabat tata usaha negara telah  menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut, yakni bermotifkan politik. Penyalahgunaan wewenang dalam melakukan pencegahan adalah salah wujud cari cara kerja yang tidak professional dan tidak  memiliki akuntabilitas, yang merupakan salah satu prinsip dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga menjadi alasan agar Keputusan Tergugat a quodibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;

27. Bahwa mencegah seseorang warganegara meninggalkan wilayah negara RI pada dasarnya adalah melanggar hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia PBB dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun Penggugat menyadari bahwa  hak konstitusional Penggugat untuk meninggalkan tanah air bukanlah “non derogable rights” yang berlaku absolut, melainkan dapat dibatasi dengan undang-undang, namun pelaksanaannya haruslah dilakukan dengan sungguh-sungguh memperhatikan hak konstitusional (constitutional rights) Penggugat yang lain yang juga dijamin oleh konstitusi, yakni hak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. Sementara Tergugat diberikan kewenangan oleh Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian untuk mencegah Penggugat meninggalkan wilayah negara RI selama 6 (enam) bulan “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan” tanpa ada batas waktu berapa kali boleh melakukan perpanjangan. Ini berarti bahwa Tergugat  bisa saja mencegah Tergugat  seumur hidup asalkan diperpanjang setiap enam bulan oleh Tergugat, seperti dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru terhadap anggota Petisi 50. Potensi Tergugat untuk melakukan pencegahan terhadap Penggugat tanpa batas waktu, menurut penalaran yang wajar, sangat mungkin untuk terjadi. Hal ini dapat berakibat menghilangkan hak konstitusional Penggugat untuk memperoleh jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

28. Bahwa selain menyangkut persoalan hak asasi manusia seperti dikemukakan di atas, faktor-faktor subyektif yang melekat pada diri Penggugat seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan Tergugat untuk mengambil Keputusan pencegahan atau tidak melakukannya terhadap Penggugat. Tidak semua Tersangka pelaku kejahatan dikenakan pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI. Ada yang dicegah, ada yang tidak. Penggugat tidaklah dapat disamakan dengan orang lain, yang perlu dikhawatirkan akan kabur ke luar negeri dan tidak kembali ke tanah air, seperti para tersangka kasus Bantuan Lukiditas Bank Indonesia (BLBI), Nunun Nurbaeti atau mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Penggugat adalah persona yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Penggugat adalah seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, pernah menjadi anggota DPR dan MPR, pernah dua kali menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, satu kali menjadi Menteri Sekretaris Negara dan belasan kali menjadi Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan Ad Interim, pernah menjadi calon sah Presiden RI dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999, pemegang Bintang Bhayangkara Utama dari Presiden RI mengingat jasa-jasanya dalam pembangunan kepolisian, pembangunan hukum dan penegakan hukum, dan sekarang oleh berbagai komponen masyarakat dicalonkan lagi sebagai Presiden RI tahun 2014. Faktor-faktor subyektif seperti ini, sama-sekali tidak menjadi pertimbangan Tergugat. Padahal, jika dipertimbangkan dengan proporsional, bijak dan akuntabel yang menjadi  prinsip dari asas-asas umum pemerintahan yang baik,  seharusnya Tergugat tidak sampai pada keputusan  mencegah Penggugat untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI. Hal ini juga menjadi salah satu alasan bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan keputusan Tergugat a quo, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf  c Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tengang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-raian sebagaimana telah dituangkan dalam Angka I, II dan III di atas, kini sampailah Penggugat pada kesimpulan gugatan ini, sebagai berikut:

1. Obyek sengketa dalam gugatan ini ialah Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No: Kep Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia  Nomor : Kep- 201/D/Dsp.3/06/2011,  tanggal 27 Juni 2011, Tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana, yang memenuhi kreteria sebagai penetapan tertulis pejabat tata usaha negara, yang bersifat konkrit, individual, final dan membawa akibat hukum, dan nyata-nyata telah merugikan kepentingan Tergugat, baik moril maupun materil;

2. Penggugat tidak menempuh upaya administratif (administratief beroep) melalui prisedur kebaratan atas Keputusan Tergugat a quo, karena peraturan-peraturan pelaksana terkait dengan upaya administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2011,  hingga gugatan ini diajukan belum diterbit

3. Keputusan Tergugat  a quo bukanlah keputusan yang dikecualikan dari pengertian keputusan pejabat tata usaha negara menurut Undang-Undang No 9 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 2011 dan PP No 30 tahun 1994, Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa dan memutus Keputusan Tergugat a quo;

4. Keputusan Tergugat a quo adalah keputusan yang penuh kejanggalan baik dari segi formatnya maupun substansinya. Judul Keputusan menggambarkan seolah-olah suatu keputusan yang berlaku umum. Sistematika penempatan logika dan alur berpikir yang menggambarkan suatu kesatuan  pemikiran dalam pengambilan keputusan, tidak jelas. Konsiderans menimbang, mengingat dan diktum keputusan tidak menunjukkan suatu sistematika berpikir, sehingga Keputusan Tergugat a quo menggambarkan cara kerja yang asal-asalan dan tidak professional sebagaimana layaknya lembaga penegak hukum yang begitu tinggi kedudukannya dalam struktur pemerintahan negara;

5. Tanggal yang dicantumkan dalam Keputusan Tergugat a quo adalah tanggal palsu. Pencantuman tanggal palsu seperti itu tidaklah mampu menghindarkan Keputusan Tergugat a quo berlaku secara retro-aktif, yang bertentangan bukan saja dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pencantuman tanggal palsu itu juga membuktikan bahwa Keputusan Tergugat a quo dibuat tanpa mengindahkan profesionalitas kerja dan akuntabilitas;

6. Alasan Tergugat untuk mencegah Penggugat keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka operasi yustisi dibidang penyidikan, sehubungan dengan status Penggugat sebagai Tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi adalah alasan yang tidak dapat diterima. Berkas perkara Penggugat kini sudah lengkap atau P-21. Pemeriksaan terhadap Tersangka sudah lama selesai, sehingga alasan operasi Yustisi di bidang penyidikan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Bahwa Tergugat tengah menelaah putusan Mahkamah Agung dalam perkara Romli Atmasasmita yang tak kunjung selesai, ditambah lagi dengan mengakaji putusan Mahkamah Konstitusi tentang saksi yang menguntungkan, yang entah kapan akan selesai, semuanya adalah urusan internal yang menjadi tanggungjawab Tergugat. Apa yang dilakukan Tergugat juga bertentangan dengan KUHAP tentang asas peradilan yang cepat dan biaya murah. Tidaklah adil dan tidak fair jika Tergugat terus mencegah Penggugat  karena urusan internal mereka sendiri. Ini menunjukkan cara kerja yang tidak professional, tidak proporsional, tidak mempunya akuntabilitas dan tidak menjamin kepastian hukum;

8. Pencegahan terhadap Penggugat juga sarat dengan muatan politik dan tekanan politik. Padahal Kejaksaan Agung adalah lembaga penegak hukum yang harus steril dari pengaruh dan tekanan politik dari pihak manapun juga. Ketidakmampuan Tergugat  membebaskan diri dari pengaruh dan tekanan politik menunjukkan bahwa Keputusan Tergugat a quo telah diambil secara tidak professional dan tidak memiliki akuntabilitas;

9. Keputusan Tergugat a quo, di dalam dirinya sendiri  telah memuat  hal-hal yang menurut undang-undang dapat  menjadi  alasan yang sah untuk membatalkannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu: (a) Keputusan Tergugat a quo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) Keputusan Tergugat a quo adalah  sebuah keputusan yang dibuat secara tidak professional, tidak mengindahkan tertib penyelenggaraan negara,  tidak menjamin kepastian hukum, tidak proporsional dan tidak memiliki akuntabilitas, sehingga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Tergugat.

V. PETITUM

Berdasarkan uraian-uraian dalam angka I, II, III dan IV di atas, Penggugat memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa gugatan ini untuk memutuskan:

–         Menyatakan menerima gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

–         Menyatakan batal Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni   2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana;

–         Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Tergugat Nomor: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana;

            Demikianlah gugatan ini. Atas kesediaan Yang Mulia Ketua dalam menindaklanjuti gugatan ini, Penggugat ucapkan terima kasih.

Hormat Penggugat,

Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com/2011/08/21/gugatan-pembatalan-cekal-ke-ptun-jakarta/


No comments:

Post a Comment