Sunday, September 15, 2019

Perubahan Gugatan dalam Praktek Peradilan Perdata

Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat agar dapat diterima oleh pengadilan haruslah memenuhi syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam HIR maupun RBg. Adapun syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan antara lain sebagai berikut. 
  1. Syarat Formal, pada umumnya syarat formal yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan adalah; Tempat dan Tinggal Pembuatan Surat Gugatan; Materai; Tanda Tangan. 
  2. Syarat Substansial, terdiri dari; Identitas Para Pihak yang Berperkara; Identitas Kuasa Hukum. 
Namun dalam prakteknya, terkadang para kuasa hukum membutuhkan suatu perubahan ataupun penambahan untuk gugatan yang telah mereka ajukan dikarenakan para kepentingan untuk client mereka.

Sunday, September 01, 2019

Mengungkit Kembali Konsep Dasar “Perbuatan Melawan Hukum”

Oleh SHIDARTA (Januari 2015)

Tulisan ini adalah cuplikan dari bagian makalah yang pernah penulis bawakan dalam sebuah konferensi internasional yang diorganisasikan oleh Stikubank, 29-30 Agustus 2013. Pada kesempatan itu penulis membawakan topik berjudul “The Breakthrough Doctrine of Interpretation in Environmental Tortlaw in Addressing the Trans-boundary Legal Problems”. Pada kerangka teoretis di artikel tersebut terdapat satu ulasan tentang perbuatan melawan hukum. Oleh karena ulasan ini sebenarnya cukup general, kiranya menarik jika diangkat kembali untuk menjadi bacaan ringan bagi pembaca situs ini.

Perbuatan melawan hukum, baik perdata (onrechtmatige daad) maupun pidana (wederrechtelijke daad) adalah dua konsep penting dalam wacana ilmu hukum (baca juga uraian serupa tentang bagian ini dalam Shidarta, 2010: 65-84). Secara umum, terutama jika mengikuti arus besar (mainstream) pemikiran hukum di Indonesia, kedua konsep ini mengalami divergensi dalam arah pemafsirannya. Perbuatan melawan hukum perdata mengarah kepada pemaknaan yang meluas (ekstensif), yakni dengan mengartikan hukum tidak sama dengan undang-undang (wet). Jadi, onrechtmatig dibedakan pengertiannya dengan onwetmatig. Momentum historis dari perluasan ini terjadi setelah putusan Hoge Raad der Nederlanden tanggal 31 Januari 1919, yaitu dalam kasus kasus Lindenbaum versus Cohen. Lain halnya dengan perbuatan melawan hukum dalam lapangan pidana yang justru mengarah ke pemaknaan yang menyempit (restriktif), yakni lebih mengarah kepada sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid). Apa yang disebut hukum lazimnya mengacu pada ketentuan norma positif dalam sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis, dan berlaku sebelum perbuatan dilakukan. Pelanggaran terhadap syarat ini merupakan pelanggaran serius terhadap asas legalitas. Jika terjadi divergensi dalam kedua lapangan hukum itu, lalu bagaimana halnya dengan perbuatan melawan hukum di dalam lapangan hukum lingkungan? Hal ini menarik untuk ditanyakan karena ranah hukum lingkungan tidak sepenuhnya dapat dimasukkan ke dalam kriteria hukum perdata dan hukum pidana. Dengan mengutip Drupsteen, Koesnadi Hardjasoemantri (1999: 38) mengatakan hukum lingkungan (millieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk millieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian, hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri dari hukum pemerintahan (bestuursrecht). Dalam tulisan ini, perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum lingkungan itu diberi nomenklatur “perbuatan melawan hukum lingkungan”.

Batasan Tindakan Dalam Hukum Administrasi Pemerintahan Dan Perbuatan Dalam Hukum Perdata Oleh Pemerintah

(Oleh: Muhammad Adiguna Bimasakti. SH[1])

Pertanyaan yang paling mendasar mengenai tindakan pemerintahan (bestuur handelingen) adalah mengenai batasan ranah hukum atas tindakan pemerintahan. Kapankah dapat dikatakan pemerintah melakukan tindakan dalam hukum administrasi dan kapan ia dikatakan melakukan tindakan dalam hukum keperdataan (rechtshandeling naar burgerlijk recht). Hal ini berkaitan dengan tindakan pemerintahan tersebut tunduk kepada ranah hukum yang mana, serta kompetensi absolut peradilan yang berwenang mengadili sengketanya. Penulis dalam hal ini mencoba untuk melihatnya dari segi hak serta kewenangan, dan pembagian tindakan administrasi secara doktrinal.

1. Pemisahan Segi Hak Keperdataan (Recht) Dan Segi Kewenangan (Bevogheid) Pemerintahan

Berdasarkan teori hukum yang berkembang saat ini, dapat dibedakan antara “wewenang” sebagai landasan suatu subjek hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasar hukum publik, serta “hak” sebagai landasan suatu subjek hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasar hukum perdata. Hadjon membaginya menjadi “kewenangan” dan “kecakapan” (bekwaamheid)[2] sedangkan penulis lebih suka melihatnya sebagai pendekatan “hak” bukan “kecakapan”. Kewenangan diperoleh berdasarkan peraturan-peraturan di dalam hukum publik. Penyebutannya pun spesifik sebagai suatu kewenangan tertentu yang diberikan untuk badan/pejabat pemerintahan tertentu. Sedangkan hak diperoleh berdasarkan peraturan-peraturan di dalam hukum keperdataan. Penyebutannya pun spesifik sebagai suatu hak tertentu yang diberikan untuk subjek hukum tertentu.